Beranda > TOKOH > PROFIL CEO PT TELKOM ARIEF YAHYA: Bisnis Mengalir sampai Jauh (KOMPAS 28 JAN 2013

PROFIL CEO PT TELKOM ARIEF YAHYA: Bisnis Mengalir sampai Jauh (KOMPAS 28 JAN 2013

•1 Februari 2013 • Tinggalkan Sebuah Komentar (Sunting)

Oleh M Clara Wresti

Belum satu tahun Arief Yahya menjadi Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Tepatnya sejak Mei 2012. Namun, bisnis Telkom dan anak perusahaannya terus bermekaran sampai ke luar negeri.Dua pekan lalu, Telkom (PT Telekomunikasi Indonesia Tbk), dengan anak perusahaannya PT Telekomunikasi Indonesia International (Telin) mengembangkan sayapnya ke Timor Leste. Pekan lalu, Telin juga mengembangkan sayap ke Australia. Sejak Oktober 2012 lalu, Telin sudah melayani Hongkong, Malaysia, dan Singapura.

Sebelum menjadi orang nomor 1 di Telkom, pria kelahiran Banyuwangi, 2 April 1961, ini menduduki jabatan sebagai Direktur Enterprise dan Wholesale Telkom Indonesia semenjak tahun 2005. Ketika duduk di jabatan ini, Arief memperoleh beberapa penghargaan. Antara lain Satyalencana Pembangunan di tahun 2006 atas keberhasilan dalam Peningkatan Pelayanan Prima di Kalimantan dan Jawa Timur dari Presiden RI.

Di tahun yang sama, Arief juga masuk dalam daftar ”25 Business Future Leader” versi majalah Swa. Arief juga terpilih sebagai penerima Economic Challenge Award 2012 kategori Industri Telekomunikasi, penerima Anugerah Business Review 2012 dari majalah Business Review. Terakhir, Arief terpilih sebagai The CEO BUMN Inovatif Terbaik 2012.

Prestasi yang diraih Arief ini juga berbanding dengan prestasi yang diraih Telkom. Pendapatan Telkom sampai dengan September 2012 tercatat sebesar Rp 56,864 triliun. Sedangkan labanya sebesar Rp 14,11 triliun.

Research Analyst PT Deutsche Bank Verdhana Indonesia, Raymond Kosasih, memprediksi harga saham Telkom berpotensi tembus Rp 12.000 per lembar. Pendapatan BUMN telekomunikasi itu hingga akhir tahun 2012 berpotensi mencapai Rp 73,045 triliun, naik 2,51 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp 71,253 triliun. Sedangkan laba bersihnya diproyeksikan meningkat 19,65 persen menjadi Rp 13,12 triliun dibandingkan Rp 10,96 triliun pada tahun 2011.

Di tengah kesibukannya, Arief ternyata juga gemar menyanyi. Ketika peresmian layanan seluler di Timor Leste pada Kamis (17/1) lalu, Arief dengan senang hati tampil ke panggung dan melantunkan lagu masa kini dengan penuh penghayatan.

Di sela-sela peresmian itu, Kompas melakukan wawancara mengenai perkembangan bisnis ke luar negeri.

Strategi apa yang dipakai untuk mengembangkan bisnis ke luar negeri?

Ada dua strategi yang dilakukan. Yakni Business Follows the People dan Business Follows the Money. Untuk yang pertama, di mana ada orang Indonesia, kita pergi ke sana. Layanan di Hongkong kami lakukan karena di sana banyak tenaga kerja Indonesia. Responsnya cukup bagus. Target awal kami memperkirakan akan mendapatkan 20.000 pelanggan. Ternyata kami langsung mendapat 30.000 pelanggan. Jumlahnya terus bertambah, dan kami perkirakan tahun ini akan mencapai 100.000 pelanggan.

Bisnis di Hongkong ini sangat menarik karena belanja pemakaian jasa telekomunikasi rata-rata mereka cukup tinggi, yakni Rp 200.000 per pelanggan.

Layanan kami mendapat respons yang baik karena kami memberikan tarif yang cukup murah. Bahkan lebih murah tarif Hongkong ke Indonesia dari pada tarif dalam negeri. Layanan ini tentu sangat menghibur mereka yang berada di perantauan.

Lalu untuk Business Follows the Money, contohnya adalah layanan call center dan digitalisasi data di Australia. Pendapatan per kapita Australia sudah sangat tinggi yakni 52.000 dollar AS per penduduk. Bandingkan dengan Indonesia yang baru 3.000 dollar AS per penduduk.

Kami tidak memberikan layanan seluler di sana, tetapi kami memberikan servis. Tagline Telkom adalah TIMES, yakni Telecomunication, Information, Media, Entertainment, and Services. Layanan di Australia masuk ke Services. Jadi kami menjadi outsource untuk layanan call center. Semua telepon yang masuk ke call center akan dialihkan ke kami, lalu kami yang menerima di Indonesia. Dari situ lalu kami kirim lagi ke pemilik yang dituju.

Selain itu, kami juga melakukan digitalisasi dokumen untuk mereka. Semuanya kami lakukan di Indonesia. Untuk memasukkan data, tidak perlu bisa bahasa Inggris. Jadi kami menang karena biaya kami lebih murah. Ini sama saja dengan kalau kita beli soto. Di Indonesia harga soto Rp 10.000. Tetapi di Melbourne harganya Rp 100.000. Pertanyaannya, mampu kah kita membuat yang Rp 80.000? Tentu bisa kan, apalagi ditambah dengan servis yang baik.

Untuk strategi mengikuti orang, negara mana lagi yang akan dituju?

Kita tentunya akan pergi ke negara yang banyak orang Indonesia-nya. Mungkin Makau, Taiwan, Arab Saudi, pokoknya yang banyak orang kita.

Untuk Timor Leste, apakah ada layanan lain di luar seluler?

Sebenarnya kami juga mendapat konsesi untuk fix line. Kami bisa buat fix line untuk internet speedy. Tetapi itu nanti saja. Yang penting, kami harus segera mendirikan 110 BTS (base transceiver station) hingga awal April 2013, untuk menjangkau 95 persen wilayah Timor Leste. Di setiap BTS, akan dilengkapi 2G dan 3G sehingga sudah siap jika permintaan servis meningkat.

Berapa investasi di Timor Leste?

Kami memakai nama Telkomcel di sini. Kami mendapatkan kontrak untuk 15 tahun. Untuk tahap awal, dua tahun pertama, kami tanamkan 50 juta dollar AS. Semuanya untuk infrastruktur dan kantor kami, belum termasuk untuk wifi dan kebutuhan bisnis.

Di sini sudah ada operator lain yang sudah cukup lama? Bagaimana Telkomcel bisa memenangkan pasar?

Dengan teknologi yang kami miliki, kami yakin akan bisa memenangi persaingan. Selain itu, jaringan untuk ke Timor Leste bisa kami tarik dari Nusa Tenggara Timur (Timor wilayah Indonesia). Tentu ini menjadi kelebihan yang tidak dimiliki kompetitor.

Berapa target yang dipatok Telkomcel untuk pasar Timor Leste?

Saat ini jumlah penduduk Timor Leste ada 1,2 juta orang. Kira-kira pengguna telepon seluler sekitar 60 persen, atau sekitar 600.000-700.000 pelanggan. Jika kami meningkatkan layanan, kami optimis bisa merebut 60 persen pangsa pasar. Optimisme muncul salah satunya karena average revenue per user di Timor Leste sebesar 10 dollar AS (Rp 98.600). Bandingkan dengan di Indonesia yang hanya Rp 35.000.

Dari bisnis layanan telekomunikasi yang mengalir jauh ke luar negeri, kendala apa yang terbesar?

Setiap bisnis pasti ada kendalanya masing-masing. Tetapi secara umum kendala yang selalu ditemui adalah bahasa. Tidak semua negara tujuan berbahasa Inggris. Oleh karena itu, kami selalu melakukan training untuk mengatasi masalah itu.

Kategori:TOKOH
  1. Juli 5, 2014 pukul 2:41 am

    I am in fact grateful to the holder of this website who has shared this wonderful article at here.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar